Dua bersaudara yang menjadi pemimpin di sebuah perusahaan tekstil besar, PT Sritex, kini terjerat dalam kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp1,35 triliun. Tindak pidana ini terungkap dalam sidang perdana yang diadakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Semarang, Jawa Tengah, dan menimbulkan banyak perhatian di masyarakat.
Jaksa Penuntut Umum telah memaparkan secara rinci mengenai kerugian yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan fasilitas kredit tersebut. Dalam sidang yang diadakan pada Senin, 22 Desember, jaksa menyebutkan bahwa praktik korupsi ini melibatkan beberapa terdakwa yang terlibat dalam skema yang lebih besar.
Kedua bersaudara tersebut, Iwan Setiawan dan Iwan Kurniawan, didakwa melakukan tindakan korupsi bersama sepuluh terdakwa lain yang disidang secara terpisah. Mereka dikatakan memiliki peran strategis dalam menyalahgunakan fasilitas kredit yang mengakibatkan kerugian signifikan bagi negara.
Rincian Kasus Korupsi yang Melibatkan Kreditor
Menurut informasi yang disampaikan dalam sidang, tindakan mereka bermula dari pengajuan kredit modal kerja yang dilakukan sejak tahun 2019 hingga 2020. Dalam proses tersebut, kedua terdakwa dituduh mentransfer dan membelanjakan dana yang seharusnya digunakan untuk kegiatan usaha.
Jaksa menjelaskan bahwa dana yang diperoleh seharusnya digunakan untuk meningkatkan produktivitas perusahaan, tetapi malah digunakan untuk memenuhi kewajiban utang yang telah jatuh tempo. Pembayaran ini tidak sesuai dengan tujuan awal pengajuan kredit.
Dalam laporan audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terungkap bahwa sebanyak ratusan miliar rupiah dicairkan dari bank-bank pelat merah tanpa adanya agunan yang sah. Hal ini menunjukkan adanya manipulasi dalam laporan keuangan yang diajukan untuk mendapatkan kredit tersebut.
Strategi Manipulasi yang Digunakan oleh Terdakwa
Untuk mendapatkan fasilitas kredit, para terdakwa diduga melakukan rekayasa terhadap laporan keuangan agar PT Sritex tampak sehat dan layak untuk mendapatkan pinjaman. Rekayasa ini memungkinkan mereka untuk mencairkan dana dalam jumlah besar.
Sayangnya, dana yang dicairkan tidak digunakan untuk mengembangkan perusahaan tetapi malah digunakan untuk melunasi utang-utang yang telah jatuh tempo, termasuk untuk surat utang jangka menengah yang sudah kadaluarsa. Ini adalah tindakan yang jelas melanggar ketentuan penggunaan kredit.
Jaksa juga menyatakan bahwa Iwan Setiawan secara aktif mengakali kewajiban pembayaran utang melalui mekanisme hukum. Ia bersama jajaran direksi diduga mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) untuk menghentikan kewajiban pembayaran utang yang sudah ada.
Dampak dari Penyalahgunaan Kredit Terhadap Perusahaan dan Negara
Dampak dari segala tindakan ini sangat signifikan, tidak hanya bagi perusahaan tetapi juga bagi perekonomian negara. PT Sritex akhirnya dinyatakan pailit pada 21 Oktober 2024 setelah serangkaian praktik manipulatif yang dilakukan oleh para terdakwa.
Jaksa pun menilai bahwa rangkaian dari tindakan rekayasa laporan keuangan dan penggunaan dokumen fiktif dilakukan secara terencana. Ini menunjukkan bahwa mereka berusaha untuk menghindari tanggung jawab hukum yang seharusnya dihadapi.
Karena tindakan mereka, negara mengalami kerugian besar, dan penyalahgunaan mekanisme PKPU menciptakan penundaan yang berkepanjangan dalam memenuhi kewajiban kepada banyak kreditur. Hal ini menjadi bukti betapa seriusnya tindakan yang mereka lakukan.
